Hubungan Indonesia-Swedia Melampaui Singkatan Populer
Kalau masyarakat Indonesia ditanya tentang Swedia, mungkin dua hal yang
akan sering muncul adalah ABBA dan IKEA. Apalagi lagu “Dancing Queen” dari grup
musik ABBA bisa jadi merupakan salah satu lagu yang paling sering dinyanyikan
di tempat-tempat karaoke, sementara produk-produk IKEA secara unik berhasil
menjadi populer di kalangan urban Indonesia. ‘Unik’ karena IKEA sendiri baru
akan membuka toko pertama di Indonesia sekitar tahun 2014.
Apakah kita dapat mengatakan hal yang sama tentang pandangan masyarakat Swedia terhadap Indonesia? Saya belum pernah mengunjungi Swedia, tapi
saya cukup yakin jawabannya adalah “tidak”. Walaupun demikian, saat ini
pandangan tersebut mungkin mulai berubah.
Kunjungan Raja Carl XVI Gustaf pada awal tahun lalu merupakan yang pertama
kalinya dilakukan oleh anggota kerajaan Swedia. Dan menjelang akhir tahun 2012,
Perdana Menteri Fredrik Reinfeldt juga mengunjungi Indonesia, pertama kalinya
dilakukan Kepala Pemerintahan Swedia. Kedua kunjungan ini merupakan bukti
meningkatnya ketertarikan masyarakat Swedia untuk memperkuat hubungan bilateral
dengan Indonesia. Dan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Swedia pada 27-29 Mei
2013 dapat pula dijadikan bukti kalau ketertarikan tersebut juga dimiliki
masyarakat Indonesia.
Upaya memperkuat kerjasama Swedia-Indonesia harus ditanggapi baik. Karena, dengan
menduduki posisi ke-8 dalam Indeks Kapasitas Inovasi (Innovation Capacity Index), Swedia adalah negara kaya inovasi yang
telah menghasilkan penemuan-penemuan seperti cardiac pacemaker, GPS, dan sabuk pengaman tiga titik. Pemerintahan
Swedia menyadari kalau ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi faktor
penting yang mengangkat negara mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan hanya
dari seratus tahun yang lalu, dan hingga kini terus mendedikasikan sumber daya
mereka ke dalam bidang ini.
Karena inovasi merupakan bagian penting pembangunan ekonomi, kemitraan
Indonesia dengan Swedia sewajarnya memiliki fokus di bidang tersebut. Dapat
dilihat, kerjasama terkini antar kedua negara menitikberatkan modernisasi kota
dan bandar udara Indonesia, dengan menjadikan mereka lebih ramah lingkungan.
Harapannya adalah kemitraan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi juga dapat berkembang d bidang lain seperti kesehatan
dan energi terbarukan.
Tak dapat dipungkiri pula, dimensi kerjasama Indonesia-Swedia telah
berkembang luas dalam beberapa tahun terakhir. Betapa berbedanya hubungan kedua
negara dari satu dekade yang lalu, saat hubungan kedua negara didominasi
isu-isu politik seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Pada saat itu, banyak
tuduhan yang dilayangkan dari Swedia ke Pemerintah Indonesia. Namun demikian,
mempertimbangkan banyaknya pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tinggal di
Swedia, dapat dimengerti kalau pandangan umum masyarakat Swedia tentang
Indonesia tidak selalu baik.
Saat ini, konflik di Aceh telah usai dan banyak anggota GAM menaruh senjata
mereka dan duduk sebagai anggota parlemen lokal. Secara keseluruhan, Indonesia
telah mengalami perubahan demokratis—dari sebuah negara yang dikukung krisis
multi-dimensi menjadi stabil, demokratis, maju secara ekonomi, dan menjadi
percontohan di kawasan. Swedia pun bukan satu-satunya negara Eropa yang melihat
baik perkembangan ini. Tahun lalu, pemimpin-pemimpin dari Ceko, Jerman,
Norwegia, Portugis, dan Inggris datang ke Jakarta untuk memperkuat kemitraan.
Pejabat pemerintahan juga bukan satu-satunya elemen masyarakat Swedia yang
mengunjungi Indonesia. Pada 2012, turis asal Swedia merupakan pengunjung
tertinggi untuk Indonesia di antara negara-negara Skandinavia lainnya. Lebih
lanjut, di antara masyarakat Eropa, turis Swedia rata-rata tinggal lebih lama
di Indonesia, menjadikan potensi kontribusi ke ekonomi lokal lebih tinggi.
Perdagangan Indonesia-Swedia secara umum telah mengalami peningkatan dan
membukukan total volume perdagangan USD 1,4 milyar pada 2012. Pada 2009,
Presiden Yudhoyono dan Presiden Komisi Eropa Manuel Barroso setuju untuk
memperkuat kerjasama perdagangan Indonesia-Uni Eropa, termasuk dengan membahas
kemungkinan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA). Sebuah komite
yang terdiri dari perwakilan sektor bisnis, akademisi, dan pejabat pemerintahan
telah memasukkan saran-saran untuk mendukung negosiasi CEPA. Jika lolos,
perjanjian ini dapat meningkatkan hubungan dagang Indonesia-Uni Eropa, termasuk
Swedia.
Lebih penting lagi untuk dicermati adalah meningkatnya ketertarikan
kalangan bisnis Swedia untuk mengucurkan investasi ke Indonesia. Pada awal
2011, Menteri Perdagangan Swedia Ewa Bjorling mengunjungi Indonesia bersama
perwakilan dari 25 perusahaan di bidang energi, teknologi ramah lingkungan,
telekomunikasi, dan perhubungan. Pada tahun yang sama, investasi Swedia yang
terealisasikan baru sebesar USD 916.000; satu tahun kemudian, nilainya melonjak
menjadi USD 5,2 juta.
Perdagangan dan investasi memang merupakan agenda penting yang dibawa
Presiden Yudhoyono dalam kunjungan kenegaraannya ke Swedia minggu ini. Selain
bertemu dengan pejabat tinggi Swedia, Presiden juga dijadwalkan bertemu dengan
pemimpin komunitas bisnis Swedia. Isu-isu yang akan diangkat Presiden, antara
lain, adalah akses yang lebih tinggi bagi produk-produk Indonesia, sebagai
bagian dari upaya menembus pasar Uni Eropa.
Walau pertumbuhan investasi Swedia di Indonesia patut disambut baik,
Presiden Yudhoyono kemungkinan besar akan lebih lanjut menggarisbawahi
kesempatan luas dalam mendorong kerjasama di sektor tersebut. Sebagai contoh,
keahlian Swedia di bidang pembangunan infrastruktur dapat membuka pintu
kemitraan bilateral untuk merealisasikan MP3EI. Demikian pula, masih ada ruang
untuk membuka kemitraan di bidang inovasi teknologi sebagai cara memperkuat
pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Pada akhirnya, kunjungan Presiden Yudhoyono akan membantu masyarakat Swedia
untuk mengenal Indonesia lebih lanjut, sehinga berkontribusi pada citra baik
Indonesia sebagai negara emerging economy.
Mudah-mudahan, hal ini memungkinkan lebih banyak lagi masyarakat Swedia yang
melihat Indonesia lebih luas dari hanya sebuah
stereotip negara tropis di Asia Tenggara. Setidaknya, sama
luasnya dengan pandangan masyarakat Indonesia yang melihat Swedia lebih dari sekadar ABBA atau IKEA.
(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Wirya Adiwena)