Monday, 27 May 2013

Lebih dari Sekadar ABBA dan IKEA


Hubungan Indonesia-Swedia Melampaui Singkatan Populer



Kalau masyarakat Indonesia ditanya tentang Swedia, mungkin dua hal yang akan sering muncul adalah ABBA dan IKEA. Apalagi lagu “Dancing Queen” dari grup musik ABBA bisa jadi merupakan salah satu lagu yang paling sering dinyanyikan di tempat-tempat karaoke, sementara produk-produk IKEA secara unik berhasil menjadi populer di kalangan urban Indonesia. ‘Unik’ karena IKEA sendiri baru akan membuka toko pertama di Indonesia sekitar tahun 2014.

Bagi banyak masyarakat Indonesia, Swedia memang telah menjadi lebih dari sekadar negara bersalju di Eropa Utara. Walau nama-nama yang saya sebut di atas terkenal di seluruh dunia, faktanya adalah Swedia telah hadir di benak masyarakat Indonesia yang kini makin dekat dengan globalisasi.


Apakah kita dapat mengatakan hal yang sama tentang pandangan masyarakat Swedia terhadap Indonesia? Saya belum pernah mengunjungi Swedia, tapi saya cukup yakin jawabannya adalah “tidak”. Walaupun demikian, saat ini pandangan tersebut mungkin mulai berubah.


Kunjungan Raja Carl XVI Gustaf pada awal tahun lalu merupakan yang pertama kalinya dilakukan oleh anggota kerajaan Swedia. Dan menjelang akhir tahun 2012, Perdana Menteri Fredrik Reinfeldt juga mengunjungi Indonesia, pertama kalinya dilakukan Kepala Pemerintahan Swedia. Kedua kunjungan ini merupakan bukti meningkatnya ketertarikan masyarakat Swedia untuk memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia. Dan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Swedia pada 27-29 Mei 2013 dapat pula dijadikan bukti kalau ketertarikan tersebut juga dimiliki masyarakat Indonesia.


Upaya memperkuat kerjasama Swedia-Indonesia harus ditanggapi baik. Karena, dengan menduduki posisi ke-8 dalam Indeks Kapasitas Inovasi (Innovation Capacity Index), Swedia adalah negara kaya inovasi yang telah menghasilkan penemuan-penemuan seperti cardiac pacemaker, GPS, dan sabuk pengaman tiga titik. Pemerintahan Swedia menyadari kalau ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi faktor penting yang mengangkat negara mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan hanya dari seratus tahun yang lalu, dan hingga kini terus mendedikasikan sumber daya mereka ke dalam bidang ini.


Karena inovasi merupakan bagian penting pembangunan ekonomi, kemitraan Indonesia dengan Swedia sewajarnya memiliki fokus di bidang tersebut. Dapat dilihat, kerjasama terkini antar kedua negara menitikberatkan modernisasi kota dan bandar udara Indonesia, dengan menjadikan mereka lebih ramah lingkungan. Harapannya adalah kemitraan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga dapat berkembang d bidang lain seperti kesehatan dan energi terbarukan.


Tak dapat dipungkiri pula, dimensi kerjasama Indonesia-Swedia telah berkembang luas dalam beberapa tahun terakhir. Betapa berbedanya hubungan kedua negara dari satu dekade yang lalu, saat hubungan kedua negara didominasi isu-isu politik seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Pada saat itu, banyak tuduhan yang dilayangkan dari Swedia ke Pemerintah Indonesia. Namun demikian, mempertimbangkan banyaknya pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tinggal di Swedia, dapat dimengerti kalau pandangan umum masyarakat Swedia tentang Indonesia tidak selalu baik.


Saat ini, konflik di Aceh telah usai dan banyak anggota GAM menaruh senjata mereka dan duduk sebagai anggota parlemen lokal. Secara keseluruhan, Indonesia telah mengalami perubahan demokratis—dari sebuah negara yang dikukung krisis multi-dimensi menjadi stabil, demokratis, maju secara ekonomi, dan menjadi percontohan di kawasan. Swedia pun bukan satu-satunya negara Eropa yang melihat baik perkembangan ini. Tahun lalu, pemimpin-pemimpin dari Ceko, Jerman, Norwegia, Portugis, dan Inggris datang ke Jakarta untuk memperkuat kemitraan.


Pejabat pemerintahan juga bukan satu-satunya elemen masyarakat Swedia yang mengunjungi Indonesia. Pada 2012, turis asal Swedia merupakan pengunjung tertinggi untuk Indonesia di antara negara-negara Skandinavia lainnya. Lebih lanjut, di antara masyarakat Eropa, turis Swedia rata-rata tinggal lebih lama di Indonesia, menjadikan potensi kontribusi ke ekonomi lokal lebih tinggi.


Perdagangan Indonesia-Swedia secara umum telah mengalami peningkatan dan membukukan total volume perdagangan USD 1,4 milyar pada 2012. Pada 2009, Presiden Yudhoyono dan Presiden Komisi Eropa Manuel Barroso setuju untuk memperkuat kerjasama perdagangan Indonesia-Uni Eropa, termasuk dengan membahas kemungkinan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA). Sebuah komite yang terdiri dari perwakilan sektor bisnis, akademisi, dan pejabat pemerintahan telah memasukkan saran-saran untuk mendukung negosiasi CEPA. Jika lolos, perjanjian ini dapat meningkatkan hubungan dagang Indonesia-Uni Eropa, termasuk Swedia.


Lebih penting lagi untuk dicermati adalah meningkatnya ketertarikan kalangan bisnis Swedia untuk mengucurkan investasi ke Indonesia. Pada awal 2011, Menteri Perdagangan Swedia Ewa Bjorling mengunjungi Indonesia bersama perwakilan dari 25 perusahaan di bidang energi, teknologi ramah lingkungan, telekomunikasi, dan perhubungan. Pada tahun yang sama, investasi Swedia yang terealisasikan baru sebesar USD 916.000; satu tahun kemudian, nilainya melonjak menjadi USD 5,2 juta.


Perdagangan dan investasi memang merupakan agenda penting yang dibawa Presiden Yudhoyono dalam kunjungan kenegaraannya ke Swedia minggu ini. Selain bertemu dengan pejabat tinggi Swedia, Presiden juga dijadwalkan bertemu dengan pemimpin komunitas bisnis Swedia. Isu-isu yang akan diangkat Presiden, antara lain, adalah akses yang lebih tinggi bagi produk-produk Indonesia, sebagai bagian dari upaya menembus pasar Uni Eropa.


Walau pertumbuhan investasi Swedia di Indonesia patut disambut baik, Presiden Yudhoyono kemungkinan besar akan lebih lanjut menggarisbawahi kesempatan luas dalam mendorong kerjasama di sektor tersebut. Sebagai contoh, keahlian Swedia di bidang pembangunan infrastruktur dapat membuka pintu kemitraan bilateral untuk merealisasikan MP3EI. Demikian pula, masih ada ruang untuk membuka kemitraan di bidang inovasi teknologi sebagai cara memperkuat pembangunan berkelanjutan di Indonesia.


Pada akhirnya, kunjungan Presiden Yudhoyono akan membantu masyarakat Swedia untuk mengenal Indonesia lebih lanjut, sehinga berkontribusi pada citra baik Indonesia sebagai negara emerging economy. Mudah-mudahan, hal ini memungkinkan lebih banyak lagi masyarakat Swedia yang melihat Indonesia lebih luas dari hanya sebuah stereotip negara tropis di Asia Tenggara. Setidaknya, sama luasnya dengan pandangan masyarakat Indonesia yang melihat Swedia lebih dari sekadar ABBA atau IKEA.

(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Wirya Adiwena)

Tuesday, 21 May 2013

Red China



My first in-your-face encounter with sex in China happened just a few weeks after I landed in Beijing.  And interestingly, I wasn’t even involved in this comedic episode. 

I was spending the evening at a friend’s place when at 9 o’clock some really loud banging came through one of the walls of the bachelor suite.  I listened carefully, and sure enough, there were cries from a guy and a girl. I smiled at my friend and shook my head, and we continued to watch TV.  At 10’clock, pounding sounds started to come from the apartment just above my friend’s.  I looked at him; this time he gave a laugh.  30 minutes later, sounds came from behind the wall adjacent to the toilet.  At midnight, they came from behind the kitchenette wall, the pots and pans hanging on it shaking.  And finally, to top it off, at 1 in the morning, I could hear two people making out in the corridor.  My friend woke up from his sleep and said to me, still with his eyes half closed: “Welcome to China”.

It’s true.  Whenever people discovered that I had been single throughout my 3.5 years stay in Beijing, they’d smile and say things like: “Must’ve been a whole lotta fun, huh…?”

Well, living in China was indeed a whole lotta fun.  The Olympics was fun.  Seeing pandas was fun.  Travelling to Urumqi, on the Silk Road in the western parts of the country, was also fun.  So was the icy-landscape of Harbin up north.  And many more escapades in this country of 1.3 billion people.  But, in all honesty, I never really had a chance to experience that “fun” China the others seem to refer to.

I’m not going to be a hypocrite. I’ve had my share of karaoke nights; although in all of them, I remember going home alone, in a taxi cab, trying to keep my dinner inside my stomach.  And yes, the red light salons were only a corner away from my apartment on the 4th Ring Road, yet I always preferred to cut my hair on my own. 

On the subject of sex, it didn’t take long for me to understand that China is a country of paradoxes.  A place where lewdness and cleanliness co-existed.  Where the pure and filthy lived side-by-side.  Where tradition crashes head-on with modernity.

From the Beijing nightclub scene
This, among others, is one of the arguments in Richard Burger’s book, Behind the Red Door: Sex in China.  Writing as a journalist, nonetheless making numerous references to academic and literary resources, Burger delves into the history and present day nuances of sexuality in China.  Not only that, Burger also explores other issues related to sex: marriage, family, gender, homosexuality, etc.  For me, this book is an interesting narrative on the old and new China.

Among others, Burger elaborates on the One Child Policy, and its impact on China’s demographics.  How this policy has given rise to large numbers of infanticides, predominantly of female babies.  And how it has caused a gender imbalance among the population.  In a 2010 study, it was predicted that China would experience a bride shortage by 24 million in 2020.  When that time does come, I wonder from where would the Chinese men would start to find their brides?

Going through the book, I kept on highlighting sections after another, as I was introduced to new statistics, information and twists in better understanding China.  For example, did you know that in the first three months of 2011 there were around 465,000 cases of divorce in China? That means that during that period, there were around 5,000 cases of divorce per day!  This therefore begs the question surrounding many Chinese people’s claim of their country’s traditional perspective on marriage and family lives.

As well, did you know that there are at least 7 tiers of prostitution?  Starting with the top tier, “ernai” (or the second wife) to “xiaogongpeng”, who are basically lower level prostitutes serving migrant workers in shanties that dot the country’s many urban areas.  While prostitution was very much part of day-to-day lives up until the Qing Dynasty, the advent of communism stopped this business.  Just like communism’s view on religion, prostitution was seen as opium for the masses, and therefore must be crushed.

I enjoyed the book immensely.  The narrative flowed well, in simple English.  In particular, the book gave me much information on the different aspects of life that I never got to experience first hand while living in China.  This includes dating a local girl (let alone be in familial terms with any of them) or holding a membership at a lavish karaoke bar.

Indeed, to understand the country, it is hard not to study the issue of sex (and everything else on its tangent).  Because, for many, at the most basic issue is this, and an understanding of how it is understood and approached in China would provide a better perspective of the country and its people.

China is a country at the crossroads between tradition and modernity.  The dilemma that arises form this situation can be found in many aspects of the Chinese life. 

Locals and foreigners mix in the crowd
While rhetorically remaining strict on pornography and prostitution, both could be found within a mouse-click.  While government officials constantly preach traditional family values, we only need to look around to notice that these values have actually been turned on their heads. Most Chinese youth still dream of finding the right person to marry, have kids with, and raise a family.  But most of them are taking more time to marry, preferring to just co-habit with their respective partners well into their thirties.

Some say that this is the result of foreign influences on the Chinese culture.  At least this is the line that many Chinese officials like to expound.  However, as Burger elaborates, when we look into the history of the country, many of the vices associated to the western culture had actually existed in China previously, and in a very grandiose way.  Of course, Chinese Communism attempted to cleanse the people of these supposed “bourgeois habits”.  But even then, the many communist propagandists (including Mao Zedong himself) were sexual hypocrites.  As a result, when the country was shoved into the present-day globalization, these supposed vices seem to resurface with a vengeance.