Friday 19 August 2011

Our Continued Struggle Against Terrorism

Indonesia has received numerous high marks in its role and efforts in counter-terrorism. Instead of falling victims to the heinous actions of terrorists, the Indonesian Government and people have worked hand-in-hand with the rest of the international community to systematically tackle terrorism and its root causes.

A recent article in the well-known foreign policy magazine, The Diplomat, (http://the-diplomat.com/asean-beat/2011/08/17/indonesias-anti-terror-model/) praised the Indonesian Government for its “nuanced approach” approach to counter-terrorism. The article was written in relations to the recent capture of Umar Patek, one of the sbomb-makers responsible for the 2002 Bali bombing, which killed 202 people and maimed hundreds more. Umar Patek was captured in Pakistan and extradited to Indonesia.

The article observed that “Indonesia’s efforts show individual countries and the broader international community can develop effective counter-terrorism policies without resorting to invading the sovereignty of states and deploying military personnel there… It also shatters the perception that the Indonesian government has been ‘soft’ with respect to prosecuting terror suspects.”

Since the devastating Bali bombings, Indonesia’s fight against terrorism has been highlighted by the capture, conviction and execution terrorists such as Amrozi bin Nurhasyimas well as the conviction and imprisonment of Jemaah Islamiyah spiritual leader Abu Bakar Bashir this year. These events have strongly demonstrated Indonesia’s resolve in bringing to justice the perpetrators of terrorist attacks through international cooperation and proper legal procedures.

Friday 12 August 2011

“Tiongkok”, “Cina” dan “China” Dalam Diplomasi Indonesia

A. Pendahuluan

Di Kemlu RI saat ini masih terdapat kerancuan dalam menterjemahkan “Zhong Hua Ren Min Gong He Guo” (nama resmi negara tersebut dalam bahasa Mandarin). Dalam bahasa Inggris, secara konsisten digunakan istilah “People’s Republic of China”, yang merupakan nama resmi negara tersebut di PBB. Tetapi dalam Bahasa Indonesia, masih belum dibakukan apakah terjemahannya menjadi “Republik Rakyat Tiongkok atau “Republik Rakyat Cina” atau Republik Rakyat China”?

Sangat disayangkan bahwa di saat Indonesia sedang mengupayakan kebijakan luar negeri yang lebih terintegrasi dan terarah, kerancuan dalam penggunaan “Tiongkok”, “Cina”, dan “China” masih menjadi sebuah permasalahan yang mendasar. Hal ini seperti menandakan “lack of coherence” atau “lack of unison” dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri di Kemlu. Apakah mungkin melakukan formulasi kebijakan yang komprehensif kalau secara internal masih ada perbedaan dalam mengidentifikasi target diplomasi itu sendiri?

B. Sejarah Penggunaan Terminologi “Tiongkok” di Indonesia

Sebutan “Tiongkok” berasal dari zaman dinasti Shang ketika daratan Tiongkok terpecah jadi banyak kerajaan kecil. Ketika dinasti Shang menguasai wilayah di bagian tengah wilayah yang sekarang menjadi People’s Republic of China, kerajaan ini disebut “Zhong Guo”, yang berarti “Negara Tengah”.

Secara linguistik, istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” hanya ditemukan di Indonesia karena lahir dari pelafalan “Zhong Guo” dalam Bahasa Indonesia dan dialek Hokien (yang digunakan di Provinsi Fujian, dari mana banyak etnis Tionghoa di Indonesia berasal). Oleh karena itu, kedua istlah tersebut tidak didapatkan di negara-negara tetangga yang bahasanya juga mempunyai akar bahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei. Namun demikian, di Asia, variasi dari istilah “Tiongkok” digunakan di Jepang (“Chugoku”), Korea (“Jungguk”), dan Vietnam (“Trung Quoc”).

Pada permulaan Abad ke-19, masyarakat Tionghoa di Indonesia membangun organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah sebagai upaya untuk pengenalan lebih mendalam terhadap tanah leluhur. Dalam proses tersebut, penyebutan “Cina” (pada saat itu ditulis “Tjina”) dikurangi karena dianggap merendahkan. Sebagai gantinya, istilah “Tiongkok” digunakan untuk penyebutan negara, dan “Tionghoa” untuk sebutan orang.

Pada tahun 1910, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan dan menyebut masyarakat Tionghoa dengan terminologi “Cina”. Dari perspektif masyarakat Tionghoa di Indonesia, penggunaan istilah “Cina” merupakan bentuk penghinaan, terutama karena masyarakat Tionghoa di Indonesia status kelasnya diletakkan lebih rendah dari orang Barat dan Jepang. Pada tahun 1928, Gubernur Belanda mengganti penggunaan istilah menjadi “Tiongkok” dan “Tionghoa”.

Sejak saat itu pula, tokoh-tokoh nasional Indonesia seperti Ki Hajar Dewantoro, H.O.S. Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno menggunakan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa”. Selain itu, beberapa ulasan sejarah mengatakan bahwa surat kabar Sin Po adalah koran berbahasa asing pertama di Indonesia yang mengganti sebutan “Hindia Belanda” menjadi “Indonesia”. Surat kabar Sin Po juga adalah yang pertama kali memuat teks lagu Indonesia Raya.

Pada saat pembukaan hubungan diplomatik di tahun 1950, dokumen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak menggunakan “Republik Rakyat Tiongkok” untuk sebutan “Zhong Hua Ren Min Gong He Guo”, yang selanjutnya digunakan dalam segala persuratan resmi di antara kedua negara.

C. Penghapusan Terminologi “Tiongkok” dari Bahasa Indonesia

Trend penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” berubah setelah meletusnya peristiwa G30S-PKI dan semakin maraknya arus anti-Cina di tanah air. Dalam iklim politis yang kurang kondusif demikian, pada tahun 1966, Seminar Angkatan Darat ke-2 di Bandung dalam laporannya mengambil kesimpulan sebagai berikut:

“Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum di luar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior untuk memulihkan penggunaan istilah ‘Republik Rakyat Tjina’ dan ‘warganegara Tjina’ sebagai ganti sebutan ‘Republik Rakyat Tiongkok’ dan warga-nya.”

Pada 25 Juli 1967, Presidium Kabinet Ampera mensahkan keputusan Seminar tersebut dengan pertimbangan bahwa istilah tersebut adalah yang “disenangi rakyat Indonesia”. Kebijakan ini diresmikan dengan penerbitan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 6 Tentang Masalah Cina, yang isinya secara spesifik melarang penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” karena nilai-nilai psikologis yang dianggap merugikan rakyat Indonesia.

Dalam tanggapannya, Pemerintah RRT melalui surat kabar Renmin Ribao pada tanggal 27 Oktober 1967 menyampaikan bahwa “perubahan sepihak Pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar dan rakyat Tiongkok menyatakan sangat marah atas sikap Pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.” Protes tersebut disampaikan berkali-kali sampai akhirnya hubungan diplomatik kedua negara dibekukan.

Pada tanggal 6 Desember 1967, ditetapkan Inpres No. 14 Tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang tujuannya untuk semakin menekan kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa di Indonesia, termasuk penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa”.

Semenjak itu, praktis tidak pernah lagi terdengar penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Yang ada hanya istilah “Cina”, yang walaupun secara tata bahasa dinilai netral, namun kerap digunakan dengan tendensi merendahkan.

D. Penggunaan Terminologi “China” Sebagai Kompromi

Pada saat normalisasi hubungan diplomatik kedua negara di tahun 1990, penyebutan “People’s Republic of China” dalam bahasa Indonesia menjadi salah satu faktor perselisihan antara kedua pihak yang berunding. Secara prosedural, Surat Presidium Kabinet Tahun 1967 masih melarang penggunaan istilah “Tiongkok”, sedangkan pihak Pemerintah RRT menilai penggunaan istilah “Cina” tidak merefleksikan itikad baik dari proses normalisasi hubungan diplomatik.

Mengingat kepentingan untuk men-golkan upaya normalisasi hubungan diplomatik, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan resmi untuk memformulasikan penggunaan “Republik Rakyat China”, atau menggunakan ejaan “Cina” dalam bahasa Inggris. Dengan penulisan seperti ini, maka dalam pelafalannya, baik dalam bahas Inggris maupun Bahasa Indonesia, Tiongkok disebut dengan “cai.na”.

Dapat dimengerti alasan dari proses kompromi ini. Namun demikian, yang menjadi permasalahan adalah status istilah “China” dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke-empat tahun 2008, istilah “Cina” tetap dieja tanpa hufu “h” dan dibaca “Ci.na”, bukan “Cai.na”. Selain itu, penjelasan mengenai “Cina” adalah “1. sebuah negeri di Asia; Tiongkok; 2. Bangsa yg tinggal di Tiongkok; Tionghoa”.

Oleh karena itu, penggunaan istilah “China” (baik dalam penulisan maupun pelafalannya) dapat dilihat seandainya memaksakan istilah bahasa Inggris “China” ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini mungkin bisa saja diterima. Namun demikian, kalau memang ada upaya untuk meng-Indonesiakan nama “Zhong Guo” dari bahasa Inggris, mengapa tidak meng-Indonesiakan juga nama-nama “Amerika Serikat”, “Inggris, “Perancis, “Belanda” dan lain lain?

E. Penggunaan Kembali Terminologi “Tiongkok” di Masa Reformasi

Pada awal masa reformasi di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid melakukan pencabutan atas Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dianggap diskriminatif dan tidak sesuai dengan norma-norma reformasi. Namun demikian, Surat Presidium Kabinet Ampera No. 6 Tahun 1967 (mengenai pelarangan penggunaan istilah-istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa”) tidak turut dicabut.

Presiden Wahid adalah salah satu tokoh reformasi yang memelopori penggunaan kembali istilah “Tiongkok dan “Tionghoa. Di dalam laporan kerja Pemerintah bulan Agustus 2000, Presiden Wahid sudah secara tegas menggunakan sebutan “Republik Rakyat Tiongkok” dan tidak lagi menyebut “Republik Rakyat Cina”.

Presiden Megawati Soekarnoputri juga melakukan hal yang serupa pada masa kepemimpinannya. Bahkan pada tahun 1998, sewaktu Presiden Megawati masih menjabat sebagai Wakil Presiden, beliau menyampaikan di depan rapat massa di Jawa Timur bahwa “sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya.

Trend ini nampaknya yang diteruskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam melakukan diplomasi dengan RRT sekarang.

F. Rekomendasi Kebijakan

Penggunaan istilah “China” kiranya tidak lagi digunakan karena tidak sejalan dengan tata bahasa Indonesia yang baik. Istilah “China” merupakan sebuah kompromi yang memang telah diterima oleh pihak RRT. Pihak Kedubes RRT di Jakarta bahkan telah melakukan diplomasi publik ke berbagai media setempat untuk memastikan penggunaan “China”, bukan “Cina”.

Dapat dimengerti pula keengganan beberapa pihak untuk melakukan pergantian karena sudah terbiasa dengan istilah “China”.

Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa upaya untuk menunjukkan komitmen terhadap persahabatan dengan RRT sekiranya tidak mengorbankan integritas dari identitas nasional Indonesia yang dicerminkan oleh penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Dengan tidak akan digunakannya lagi istilah “China”, maka opsi yang dapat dijadikan pertimbangan adalah sebagai berikut:

Opsi A:Menggunakan istilah “Cina”. Opsi ini harus ditindaklanjuti dengan penjelasan kepada pihak RRT agar kiranya tidak terlalu sensitif dalam mengartikan penggunaan istilah “Cina” karena secara aturan tata bahasa, istilah tersebut bernuansa netral dan tidak mengandung konotasi negatif atau merendahkan;

Opsi B:Menggunakan istilah “Tiongkok”. Istilah “Tiongkok” dibenarkan dalam tata bahasa Indonesia dan selama ini terbukti dapat diterima oleh pihak RRT. Namun demikian, secara hukum, penggunaan “Tiongkok” masih tidak diperbolehkan karena Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 6 tahun 1967 belum dicabut. Saat ini ada beberapa pihak, termasuk seorang anggota DPR-RI yang tengah mengajukan pengujian materi atas Surat Edaran tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

Menilai opsi-opsi yang ada, sebagai rekomendasi awal, kiranya dapat dipertimbangkan penggunaan kembali istilah “Tiongkok”, “Republik Rakyat Tiongkok”, dan “Tionghoa” dalam diplomasi Indonesia.

Hal ini tentunya memerlukan upaya-upaya tertentu, terutama mengingat legalitas istilah “Tiongkok” dan kelaziman penggunaannya di masyarakat kita. Mungkin diperlukan upaya untuk mencabut peraturan-peraturan diskriminatif yang dicetuskan pada masa Orde Baru.

Memang bagi banyak pihak, istilah-istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” sekarang terdengar aneh atau tidak lazim. Namun demikian, istilah-istilah ini tidak pernah punah dari Bahasa Indonesia. Hanya saja, penggunaannya selama ini “diharamkan” oleh kondisi politik dan instruksi pemerintahan Order Baru yang otoriter dan tidak simpatik terhadap Tiongkok.

Terlepas dari hipotesis ini, kiranya dapat tetap dilakukan tahapan-tahapan sebagaimana yang telah direkomendasikan sebagai proses pengambilan kebijakan yang komprehensif dan inklusif.

G. Pandangan Akhir

Pelurusan terhadap penyebutan “Zhong Guo” dalam bahasa Indonesia memang bukan sesuatu yang dapat dilakukan dalam satu malam. Upaya ini juga belum tentu dapat dilakukan di kalangan masyarakat umum mengingat telah mendarah-dagingnya istilah “Cina” dalam psikologi rakyat Indonesia secara umum.

Namun demikian, demi mengupayakan kesamaan dalam upaya berdiplomasi dengan salah satu mitra terpenting Indonesia di kawasan, maka diperlukan terminologi yang serasi, setidak-tidaknya di tubuh Kemlu RI.

Proses demokrasi dan reformasi terus bergulir, menciptakan Indonesia baru dan meningkatkan nasionalisme yang moderen dan percaya diri. Demokrasi dan reformasi juga meningkatkan persahabatan yang harmonis antara segenap masyarakat di dunia. Perubahan juga layaknya ditujukan kepada upaya membangun diplomasi yang lebih canggih dan memegang teguh prinsip “thousand friends, zero enemy”.

Dari pandangan sejarah dan titik tolak persahabatan rakyat kedua negara yang harus saling menghargai dan menghormati, patut dipahami permohonan Pemerintah RRT untuk tidak digunakannya istilah “Cina”. Namun demi integritas bangsa Indonesia, penggunaan istilah “China” (dengan pelafalan “cai.na”) seharusnya juga tidak dibenarkan.

Oleh karena itu, seharusnya bukan menjadi permasalahan bagi Pemerintah Indonesia untuk kembali menggunakan sebutan “Tiongkokdan sebutan lengkap Republik Rakyat Tiongkok sebagaimana tertulis pada Perjanjian Pembukaan Hubungan Diplomatik Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia tahun 1950.

Monday 8 August 2011

Pat Lil', Do More

“Indonesia…? Isn’t that the place to be investing in these days…?”

“Jakarta… The traffic’s awful, but many are paying attention to your economic growth now…”

These were some of the comments that I got when I answered people’s questions about where I come from. I was in Singapore, at a friend’s wedding, surrounded by bankers, financial analysts, lawyers, businessmen, and other types of professionals.

I have to admit, it was with some sense of pride that I absorb the positive comments made by these people regarding my country. Of course, not all were positive, but I felt that the positive ones mattered most. At least, these comments seem to be lacking among the Indonesian people.

In a year when Standard and Poor’s lowered the US’ credit rating for the first time since God-know-when, Indonesia’s rating was given a boost last April to BB+, just one level below investment-grade. The rating was the highest since the Asian financial crisis hit the country in 1997. It was last increased in March 2010, thus indicating a steady progress.

Moreover, we should be happy that, according to the S&P people, this progressing trend is based on the nation’s “resilient” economy and improving finances. Specifically, kudos was given to the Government’s financial efforts in lowering the nation’s debt ratio and enhancing our foreign exchange reserves.

Fitch Ratings and Moody’s Investors Service also rank Indonesia one level below investment grade. Fitch in February raised its BB+ outlook on Indonesia to positive from stable.

However, in view of the dire conditions facing other parts of the world, including the US and many European economies, we should not pat ourselves on the back for too long. We must continue to be vigilant and attentive of our surroundings, making sure that economic development is equitable and inclusive.

Our inflation remains high. And more importantly, our efforts in bureaucratic reform, legal reform, human resources reform, and anti-corruption efforts remain on an up-hill climb. As well, economic development must also feature improving living standards for Indonesians all around.

We must continue to tread on this path. There has been some success in the last few years, and we should take pride on this. Pride brings about confidence. However, we must make sure that confidence does not breed a sense of accomplishment that is way too early.

We are still “one level below investment-grade”. We need to make it to that next level. Then maybe we can pat ourselves some more on the back.